LOKOMOTIF UAP INDONESIA

Nah kalo mau tau jenis-jenis lokomotif uap yang ada di Indonesia meskipun ga komplit adalah sbb;

sumber ;  https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_lokomotif_di_Indonesia

 Kereta Api Bandung Garut Cibatu tempo doeloe 1974

 Kereta uap cibatu garut cikajang|| 1978-1983|| samapai jd loko cc201.

 Kereta api Cibatu Garut Cisurupan Cikajang Leles 1978 / 1980 (part 1) ~

 Kereta api Cibatu Garut Cisurupan Cikajang Leles 1978 / 1980 (part 2) ~

 Kereta api Cibatu Garut Cisurupan Cikajang Leles 1978 / 1980 (part 3) ~

 Kereta api Cibatu Garut Cisurupan Cikajang Leles 1978 / 1980 (part 4) ~

 Kereta api Cibatu Garut Cisurupan Cikajang Leles 1978 / 1980 (part 5) ~

 Kereta api Cibatu Garut Cisurupan Cikajang Leles 1978 / 1980 (part 6) ~

 Kereta api Garut Bandung Purwakarta 1978 / 1980 (part 7) ~

 Kereta api Cibatu Garut Cikajang Bandung 1978 / 1980 (part 8) ~

 Kereta api Cibatu Garut Cikajang 1978 / 1980 (part 9) ~


Kereta api Cibatu Garut Cikajang 1978 / aktifitas loko 
CC5030 CC1007 C1116 C1127 di stasiun cibatu

 Kereta DD5203 dari stasiun Cibatu menuju Stasiun Malangbong (Bumiwaluya) Garut 1970

 Kereta CC5001 menuju stasiun Bayongbong Garut

 Jalur Kereta Api Banjar-Cijulang (Jembatan Cikacepit)

 pabrik kereta api Bandung 1912

 KERETA API UAP CIBATU - GARUT - CIKAJANG TAHUN 1970an
 (Dengarkan suara keretanya!!)


Nostalgia - kereta api Sasaksaat
  • B1 Tidak ada data 
  • B10Lokomotif B10 merupakan salah satu lokomotif pertama yang dioperasikan di lintas rel 1067 mm milik Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij. Lokomotif ini dibuat oleh pabrikan Beyer Peacock, Inggris dan didatangkan ke Hindia Belanda sekitar tahun 1871.[1] Tidak jelas daerah operasionalnya lokomotif ini. Pada awalnya, NIS membeli lokomotif ini sebanyak 6 unit. Namun kemudian hanya tersisa 2 unit sewaktu penjajahan Jepang di tahun 1942. Dari 2 unit yang tersisa di tahun 1950-an, semua unit dalam kondisi afkir. Sehingga semua lokomotif B10 telah hilang tak berbekas. termasuk aset dokumentasinya.[2]  
  • B11Lokomotif B11 merupakan salah satu lokomotif tertua milik Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij dengan ukuran rel 1067 mm yang masih memiliki dokumentasi yang baik. Lokomotif ini dibuat oleh pabrik Beyer Peacock, Inggris dan dipesan sebanyak 4 unit oleh NIS pada tahun 1883 sampai 1898.hingga akhir tahun 1970-an, ada satu lokomotif yang tersisa, yaitu dengan seri B1103 dan sudah dalam kondisi tidak aktif. Data terakhir menunjukkan lokomotif ini berada di dipo lokomotif Gundih pada tahun 1972.[1] Beberapa tahun kemudian dipindahkan ke Los Bunder Lempuyangan, Yogyakarta untuk dilakukan preservasi. Namun sayang, lokomotif ini harus dirucat dan tidak sempat diselamatkan. Sehingga saat ini sudah tidak ada lagi lokomotif B11 yang tersisa.[2]
     
  • B12Trem uap menjadi populer untuk angkutan perkotaan berbasis jalan rel pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Perancangan sistem trem dilakukan di kota besar seperti: Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Pemerintah Hindia Belanda memberikan konsesi kepada dua operator: Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) tahun 1881 dan Oost-Java Stoomtram Maatschappij (OJS) tahun 1886.
    Jalur SJS di Kota Semarang beroperasi sejauh 12 km tahun 1882-1883 yakni rute Pendrikan-Jurnatan, Jurnatan-Jomblang, Jurnatan-Bulu, serta Jurnatan-Pelabuhan Semarang. Sementara itu, jalur OJS di Kota Surabaya beroperasi sejauh 47 km pada tahun 1889-1920 yakni rute Ujung-Benteng-Surabaya Kota-Simpang-Wonokromo, Surabaya Pasar Turi-Pelabuhan Tanjung Perak serta jalur Wonokromo-Sepanjang-Krian.
    Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan trem, maka SJS dan OJS membeli 45 unit lokomotif B 12 dengan perincian: 29 unit dari pabrik Beyer Peacock, Inggris, 13 unit dari Werkspoor, Belanda, serta 3 unit B 12 dirakit dari komponen cadangan B 12 di Balai Yasa Groedo, Surabaya.[1]
    Pada masa itu, trem menjadi primadona bagi masyarakat. Kehadiran trem uap yang dinantikan masyarakat telah menggantikan pedati ataupun kereta kuda. Trem menjadi favorit karena waktu tempuhnya yang cepat sehingga banyak dimanfaatkan sebagai transportasi dalam kota.
    B 12 memiliki susunan roda 0-4-0TR dan memiliki silinder berdimensi 340 × 370 mm pada sisi luarnya. Roda penggerak berdiameter 850 mm, bahan bakar kayu jati, berat 21 ton, dan sanggup melaju hingga 25 km/jam.
    Trem Semarang dan Surabaya akhirnya ditutup masing-masing tahun 1975 dan 1978, berikut jalur, stasiun, dan seluruh layanannya karena kalah bersaing dengan mobil pribadi dan angkutan umum. Saat ini tersisa B 12 39 yang dipajang di Stasiun Surabaya Pasar Turi.[2]
     B 12 

  • B13Jalan rel rute YogyakartaMaosCilacap (176 km) dibangun oleh perusahaan kereta api Staats Spoorwegen (SS) dan diresmikan pada tahun 1887. Pembangunan jalan rel tersebut dilatarbelakangi oleh adanya dua kepentingan, yaitu kepentingan ekonomi dan pertahanan militer. Kepentingan ekonomi berkaitan dengan kebutuhan pengangkutan hasil-hasil perkebunan dari kota Purworejo atau kota Yogyakarta ke pelabuhan Cilacap sebagai salah satu pintu gerbang ekspor ke Eropa. Selain itu, kereta api juga digunakan untuk kepentingan angkutan militer pemerintah Hindia Belanda yang berada di kota Cilacap. Jalan rel ini juga digunakan untuk angkutan militer (terdapat benteng pertahanan militer di kota Cilacap yang didirikan pada tahun 1879). Dengan demikian, kedudukan benteng militer ini bernilai strategis bagi pemerintah Hindia Belanda dalam mengamankan ekspor hasil perkebunan. Untuk melayani rute rute YogyakartaMaosCilacap (176 km), SS mendatangkan 11 lokomotif uap bernomor seri SS99 / SS74 atau B 13 dari pabrik Hanomag (Jerman) pada tahun 1886. Kereta api berperan besar dalam perdagangan hasil pertanian dan perkebunan sehingga menjadikan pelabuhan Cilacap sebagai pelabuhan yang ramai di pulau Jawa pada tahun 1909 - 1930. Selain digunakan untuk menarik gerbong barang, lokomotif ini juga digunakan untuk menarik rangkaian kereta penumpang. Pada tahun 1929, SS melakukan konservasi pada lokomotif ini yaitu melakukan penggantian boiler lama dengan boiler baru. Pada tahun 1941, sebagian lokomotif ini dipindahkan operasionalnya ke jalan rel milik SS yang lain yaitu pada rute Tanah Abang - Duri - Tangerang (21 km).
    Setelah Perang Dunia II berakhir, lokomotif ini tersebar di dipo lokomotif Tanah Abang, Purwakarta, Cirebon dan Mojokerto. Dari 11 lokomotif B 13, saat ini masih tersisa 1 lokomotif B 13, yaitu B 13 04. B 13 04 dipajang di depan jalan masuk ke stasiun Cirebon (Jawa Barat).
     Lokomotif B13
  • B14 tidak ada data
  • B15 tidak ada data
  • B16Pada masa pemerintah Hindia Belanda, kota Pasuruan dan kota Probolinggo merupakan sentra dari produksi gula. Kota Pasuruan dikenal sebagai pusat percobaan gula dan kota Probolinggo menjadi sentra distribusi dan pengapalan produksi gula, tembakau dan beras. Sebagai sentra distribusi dan perdagangan perantara, kedua kota tersebut mempunyai letak yang berfungsi dengan baik, dilengkapi dengan dermaga dan gudang-gudang pengiriman barang. Untuk mempermudah distribusi barang di kota Pasuruan dan kota Probolinggo, Pemerintah Hindia Belanda memberikan konsesi kepada perusahaan kereta api swasta Pasoeroean Stoomtram Maatschappij (PsSM) pada tahun 1893 dan perusahaan kereta api swasta Probolinggo Stoomtram Maatschappij (PbSM) pada tahun 1894. PsSM mendapat konsesi untuk membangun jalan rel di kota Pasuruan dan sekitarnya hingga ke Wonorejo. Pada tahun 1896 - 1912, PsSM telah berhasil membangun jalan rel dengan total panjang 32 km. PbSM mendapat konsesi untuk membangun jalan rel di kota Probolinggo dan sekitarnya hingga ke kota Kraksaan dan Paiton, Probolinggo. Pada tahun 1897 – 1912, PbSM telah berhasil membangun jalan rel dengan total panjang 41 km. Untuk melayani rute tersebut, PbSM mendatangkan 7 lokomotif B 16 sedangkan PsSM mendatangkan 10 unit lokomotif B 16. 17 unit lokomotif uap B 16 didatangkan pada tahun 1896 - 1900 dari pabrik Hohenzollern (Jerman). Tram ini digunakan untuk angkutan penumpang dan barang/hasil bumi. Tram dengan lokomotif uap ini digunakan untuk menarik rangkaian gerbong barang yang berisi gula. Tram uap dengan susunan roda 0-4-0Tr merupakan lokomotif uap yang memiliki silinder berdimensi 230 mm X 300 mm dengan roda penggerak berdiameter 800 mm. Berat keseluruhan 13 ton. Lokomotif ini dapat melaju hingga kecepatan maksimum 30 km/jam
    Pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia, 2 lokomotif B 16 milik PbSM dibongkar pada tahun 1942 (tidak diketahui alasan pembongkaran ini) sedangkan 2 lokomotif B 16 milik PsSM dipindah untuk beroperasi di rute Saketi – Bayah (80 km). Pemerintah Jepang membangun jalan rel rute Saketi – Bayah (80 km) pada tahun 1942-1945 untuk mengangkut batu bara dari tambang batu bara Cikotok (Banten). Saat itu, Bayah dikenal sebagai penghasil utama batu bara, yang digunakan untuk bahan bakar kereta api, kapal laut dan pabrik. Di akhir masa dinasnya, pada tahun 1977, masih dapat dijumpai 1 lokomotif B 16 yang beroperasi jalan rel milik perusahaan kereta api swasta Oost-Java Stoomtram Maatschappij (OJS). OJS memiliki jalan rel untuk tram di kota Surabaya dan sekitarnya dengan panjang 95 km. Dari 17 lokomotif B 16, saat ini masih tersisa 1 lokomotif B 16, yaitu B 16 02 (milik PbSM, mulai operasional tahun 1897). B 16 02 dipajang di dalam pabrik PT. INKA (Industri Kereta Api), kota Madiun, Jawa Timur.
     Lokomotif B16
  • B17Pemerintah Hindia Belanda benar-benar serius dalam merencanakan tata kota Malang dan sarana transportasinya. Ini dapat dilihat keberadaan perusahaan kereta api swasta Malang Stoomtram maatschappij (MSM) yang sudah ada terlebih dahulu dari Gemeente (Kota) Malang yang baru diresmikan pada tahun 1914. MSM berhasil membangun jalan rel di sekitar kota Malang dan Singosari tahun 1897 - 1908, dengan panjang total 85 km. Untuk melayani rute tersebut, MSM mendatangkan 10 unit lokomotif uap B 17 dari pabrik Hohenzollern (Jerman) pada tahun 1897 - 1900. Tram dengan lokomotif uap ini memudahkan masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Fungsi daerah seperti Dampit adalah daerah penyangga bagi kota Malang yang berperan sebagai pemasok hasil bumi bagi kepentingan Gemeente (kota) Malang. Jadi, seperti halnya daerah-daerah lain Tram ini digunakan untuk angkutan penumpang dan barang/hasil bumi. Hasil bumi yang diangkut selain tembakau dan cengkeh adalah singkong, jagung, padi/beras, buah-buahan dan sayuran. Bahkan mungkin juga karet karena dulu di sekitar Gondanglegi dan Kepanjen, terdapat sejumlah perkebunan karet. Tram uap ini memiliki susunan roda 0-4-0 memiliki dua silinder berdimensi 270 mm X 400 mm pada sisi dalam dengan roda berdiameter 850 mm. Berat keseluruhan 20 ton. Lokomotif ini dapat melaju hingga kecepatan maksimum 30 km/jam dan memiliki daya 200 hp (horse power). Lokomotif B 17 menggunakan bahan bakar kayu jati atau batubara.
    Di akhir masa dinasnya, pada tahun 1979, lokomotif B 17 digunakan pada rute Jalur kereta api Kediri-Jombang. Selain menarik kereta penumpang lokal, B 17 juga bertugas menarik gerbong barang dan tugas langsir gerbong ketel Pertamina di Kediri. Dari 10 lokomotif B 17, saat ini masih tersisa 1 buah lokomotif B 17, yaitu B 17 06 (mulai operasional tahun 1897). B 17 06 dipajang di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
     Lokomotif B17
  • B18tidak ada data
  • B19tidak ada data
  • B20Transportasi kereta api pernah menjadi sarana angkutan perkotaan di kota Semarang. Rute yang dilalui diantaranya adalah Jurnatan-Pendrikan. Stasiun Jurnatan dibangun oleh perusahaan kereta api swasta Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) pada tahun 1882 dan stasiun Pendrikan dibangun oleh perusahaan kereta api perusahaan kereta api swasta Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) pada tahun 1897. Jalur ini melalui Jalan Pemuda, Bulu dan Indraprasta. Pada tahun 1900 - 1907, SCS mendatangkan 19 unit lokomotif uap B 20 dari pabrik Beyer Peacock (Inggris) dan Werkpoor (Belanda). Tram dengan lokomotif uap ini memudahkan masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tram ini digunakan untuk angkutan penumpang jarak dekat. SCS kemudian memperluas jalur kereta api dari Semarang ke Cirebon. Jalur kereta api rute Semarang-Cirebon disebut juga 'jalur gula' (Suikerlijn) karena jalur ini dibangun untuk melayani tidak kurang dari 27 pabrik gula yang berada di pantai utara Jawa Tengah bagian barat. Jalur ini semula hanya jalan rel tipe ringan yang dibangun di samping jalan raya. Karena konstruksi yang ringan kecepatan maksimum kereta api terbatas hanya 35 kilometer per jam. Pada tahun 1912 - 1921, SCS meningkatkan kualitas jalan rel pada rute Semarang-Cirebon sepanjang 226 km pada tahun 1912-1921. Tujuan peningkatan kualitas jalan rel ini adalah untuk meningkatkan batas kecepatan kereta api menjadi 75 km/jam. Lokomotif B 20 memiliki panjang 5790 mm dan berat 17,5 ton. Lokomotif B 20 memiliki daya 200 hp dan dapat melaju hingga kecepatan 35 km/jam. Lokomotif ini menggunakan bahan bakar kayu jati. Lokomotif uap B 20 memiliki susunan roda 0-4-0.
    Dari 19 unit lokomotif B 20, saat ini hanya tersisa 1 unit lokomotif B 20, yaitu B 20 14. B 20 14 (buatan pabrik Beyer Peacock, mulai operasional tahun 1905) dipajang di Museum KA Ambarawa (Jawa Tengah).
     Lokomotif B20
  • B21  tidak ada data
  • B22Selain kaya dengan sumber daya alam, seperti kayu jati, kawasan pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur juga terdapat minyak bumi dan gas bumi, baik di Cepu (Jawa Tengah) maupun di Bojonegoro (Jawa Timur). Untuk mendukung percepatan arus perdagangan hasil bumi dan hasil industri perkebunan kemudian dibangun jalan rel. Setelah perusahaan kereta api swasta Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) berhasil membangun jalur kereta api rute Semarang – Gundih - SoloYogyakarta (166 km) pada tahun 1867 – 1872, NIS kemudian melanjutkan pembangunan jalur kereta api rute Surabaya Pasar Turi – Babat (69 km) selesai dibangun pada tahun 1900, rute Babat – BojonegoroCepu (72 km) selesai dibangun pada tahun 1903 dan rute Gundih – Gambringan – Cepu (89 km) selesai dibangun pada tahun 1902. Jalur kereta api ini telah menjadi jalur perdagangan penting, yaitu lembah Bengawa Solo yang terletak di Jawa Timur bagian utara. NIS mendatangkan lokomotif uap B 22 dari pabrik Hartmann (Jerman) sebanyak 20 unit lokomotif pada tahun 1989 – 1901. Lokomotif ini dipergunakan untuk menarik rangkaian kereta yang mengangkut hasil bumi, hasil perkebunan, hasil tambang atau penumpang. Setelah Perang Dunia II berakhir, 1 unit lokomotif B 22 dipindah dari Jawa ke Sumatera Selatan dan sisanya tersebar di Solo, Gundih, Kudus dan Purwodadi.
    Lokomotif ini memiliki dua roda penggerak (susunan roda 0-4-2T) dengan dua silinder compound. Pada lokomotif uap dengan dua silinder compound, uap dari silinder tekanan tinggi disalurkan ke silinder tekanan rendah yang lebih besar volumenya dari silinder tekanan tinggi (agar uap dapat berkembang memuai lebih lanjut dan menghasilkan tenaga penggerak lagi). Baru dari silinder tekanan rendah uap yang sudah terpakai dibuang melalui cerobong. Meskipun lokomotif uap dengan dua silinder compound dapat memberikan efisiensi yang lebih tinggi namun perawatannya lebih rumit. Setelah ditemukannya superheater maka jenis lokomotif uap seperti ini tidak pernah dibuat lagi.
    Lokomotif B 22 memiliki panjang 7850 mm dan berat 25,1 ton. Lokomotif B 22 dapat melaju hingga kecepatan 55 km/jam. Lokomotif ini menggunakan bahan bakar kayu jati atau batubara.
    Dari 20 unit lokomotif B 22, saat ini tersisa 3 unit B 22, yaitu B 22 07, B 22 09 dan B 22 20. B 22 07 (mulai operasional tahun 1898) di Bumi Perkemahan Cibubur (Jakarta), B 22 09 (mulai operasional tahun 1898) dipajang di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta) dan B 22 20 (mulai operasional tahun 1900) dipajang di Museum KA Ambarawa (Jawa Tengah).
     Lokomotif B22
  • B23Keuntungan finansial yang diperoleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg maatschappij (NIS) dari pengoperasian jalur kereta api rute Semarang – Solo – Yogyakarta dan Jakarta – Bogor memberi harapan baru kepada para pengusaha swasta yang telah berminat untuk menanamkan modal mereka dalam kegiatan jasa angkutan dengan kereta api. Perusahaan kereta api swasta Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM) mendapat konsesi dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1894 untuk membangun jalan rel di sekitar kota Kediri, Jombang dan Pare. Konstruksi jalan rel pertama dibangun KSM pada rute Jombang – Pare – Kediri (50 km) dan selesai dibangun pada tahun 1897.
    Stasiun Pare merupakan kantor pusat dari KSM. Di stasiun ini juga terdapat dipo lokomotif. Pada tahun 1897 – 1900, KSM telah berhasil membangun jalan rel dengan total panjang 121 km. Untuk melayani rute ini, KSM mendatangkan lokomotif uap B23 dari pabrik Henschel (Jerman) pada tahun 1900 sebanyak 1 lokomotif saja. Lokomotif ini digunakan untuk menarik rangkaian kereta yang mengangkut hasil perkebunan dan penumpang pada rute jarak dekat. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tingkat produktivitas pertanian dan perkebunan di kota Kediri dapat dikatakan cukup besar, banyak tanah yang disewakan untuk menjadi perkebunan.
    Lokomotif B23 memiliki susunan roda 0-4-0T merupakan lokomotif yang memiliki dua silinder berdimensi 280 mm x 430 mm pada sisi luar dengan roda penggerak berdiameter 800 mm. Lokomotif ini dapat melaju hingga kecepatan maksimum 25 km/jam. Berat keseluruhan 16 ton. Lokomotif B23 menggunakan bahan bakar kayu jati atau batubara.
    Karena KSM mengalami kesulitan keuangan maka lokomotif ini dipindah ke kota Madiun untuk dioperasionalkan di jalan rel milik perusahaan kereta api Staats Spoorwegen. Satu-satunya lokomotif seri B23 yang didatangkan di Indonesia adalah B23 01. B23 01 saat ini dipajang di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
     B53
  • B24  tidak ada data
  • B25Lokomotif ini dioperasikan oleh NIS mulai tahun 1902 dalam rangka mengoperasikan jalur kereta api Secang-Kedungjati (hanya sampai Stasiun Ambarawa yang didukung jalur bergigi. Jalur gigi sejauh 6,5 km ini beroperasi mulai tahun 1905. Untuk operasional khusus tersebut itulah, NIS mengimpor lima unit B 25 dari Esslingen.
    Agar dapat beroperasi di atas jalur bergigi ini, B 25 menggunakan roda gigi agar kereta dapat menanjak dengan baik. Gigi-gigi itu difungsikan agar kereta dapat menanjak pada kemiringan hingga 6,5% walaupun melaju dengan kecepatan 10 km/jam. Selain itu, gigi-gigi tersebut berfungsi menahan kecepatan apabila relnya menurun.
    Lokomotif ini berbahan bakar kayu jati untuk mendidihkan air dan menggerakkan piston-piston. B 25 memiliki empat silinder, dua di antaranya hanya untuk menggerakkan roda gigi. Bahan bakar kayu jati yang dipergunakan dalam lokomotif ini dapat merebus hingga 2.850 liter air. Sebelum pengoperasian, ketel uap harus dipanaskan sekitar tiga jam agar ketel mencapai titik puncak pemanasan untuk menggerakkan roda-rodanya pada suhu ±235 °C. B 25 dapat melaju hingga 30 km/jam untuk jalur datar.
    Saat ini masih tersisa 3 (tiga) unit lokomotif uap seri B25 yang masih bisa dijumpai yaitu lokomotif uap B25 02 dan B25 03 yang masih operasional untuk melayani kereta wisata rute Ambarawa – Bedono sedangkan lokomotif uap B25 01 menjadi monumen statis di Monumen Palagan Ambarawa (penanda kepahlawanan dan perjuangan), perlu diketahui bahwa Lokomotif B25 01 dalam peletakkannya di Monumen Palagan, lokomotif berjalan secara normal menggunakan rel portabel dari Stasiun Ambarawa menuju Monumen Palagan, secara teknis lokomotif ini dalam kondisi baik. Lokomotif di Indonesia yang juga memiliki gigi adalah E 10 yang masih beroperasi namun juga untuk layanan kereta wisata yang diberi nama Mak Itam, serta Lokomotif BB204.[1]
     B25
 Keren Bnget, Kereta Uap (Steam Loco) Naik Turun 
di Rel Bergerigi disambut Telolet Truk2 Lewat :p

 Mengisi Air di Loko Uap di Stasiun Bedono

 (Sangat Langka) Lokomotif Uap melintasi rel berbentuk huruf W

 Legendary Steam Locomotive " Mak Itam " West Sumatra 2016
  •  
  • B26   tidak  ada  data
  • B27   tidak ada data
  • B50 Pemerintah Hindia Belanda melalui perusahaan kereta api Staats Spoorwegen (SS) memulai pembangunan konstruksi pertama jalan rel dengan rute Surabaya Kota – Sidoarjo – Pasuruan (63 km) dan diresmikan pada tahun 1878. Pembangunan jalan rel ini diteruskan ke arah barat dengan rute Sidoarjo – Tarik – Kertosono – Madiun (141 km) yang selesai dibangun pada tahun 1882 dan Madiun – Solo Balapan (97 km) yang selesai dibangun pada tahun 1884. Jalur ini dianggap penting karena melalui wilayah dengan kondisi tanah yang subur yang kemudian menjadi tulang punggung industri gula. Selain terdapat perkebunan tebu dan pabrik gula, jalur ini juga melalui perkebunan teh, kopi, tembakau dan lain-lain.
    Untuk melayani rute ini, SS membeli 14 lokomotif uap B50 dari pabrik Sharp Stewart (Inggris). 14 lokomotif B50 didatangkan pada tahun 1880 – 1886. Lokomotif ini digunakan untuk menarik rangkaian kereta yang mengangkut hasil perkebunan dan penumpang. Pembangunan jalan rel kemudian dilanjutkan pada rute Madiun – Ponogoro (32 km) yang selesai dibangun pada tahun 1907 dan rute Ponorogo – Slahung (26 km) yang selesai dibangun pada tahun 1922. Sebagian besar lokomotif B50 berada di dipo lokomotif Madiun. Untuk memenuhi kebutuhan transportasi kereta api di Sumatra Selatan, maka 3 lokomotif B50 milik SS dipindah dari Jawa ke Sumatra Selatan.
    Lokomotif uap B50 memiliki roda utama dengan diameter 1412 mm. Dengan konstruksi ini, lokomotif mampu mencapai kecepatan maksimum 60 km/jam dengan tetap memberikan kestabilan pada lokomotif. Lokomotif B50 menggunakan bahan bakar kayu jati atau batubara. Lokomotif B50 memiliki daya 330 HP (horse power) dan digunakan untuk menarik rangkaian kereta pada rute jarak menengah. Lokomotif ini memiliki susunan roda 2-4-0 dan berat 20,25 ton.
    Dari 14 lokomotif B50, saat ini masih tersisa 1 buah lokomotif B50, yaitu B50 04 (mulai operasional tahun 1881). B50 04 dipajang di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Saat ini B50 04 dalam kondisi sudah tidak lengkap karena tendernya sudah tidak ada lagi.
     B50
  • B51Lokomotif B 51 adalah contoh lokomotif dengan dua silinder compound. Silinder ini lebih efisien karena uap dari silinder tekanan tinggi disalurkan menuju silinder tekanan rendah, baru dikeluarkan ke cerobong. Meskipun demikian, perawatan pada lokomotif ini sangat rumit. Lokomotif ini tidak lagi diproduksi sejak ditemukannya superheater. Lokomotif dua silinder compound dapat sanggup melaju hingga lebih dari 60 km/jam namun tetap memberikan kestabilan.
    Lokomotif B 51 ini diimpor dari pabrik Hanomag dan Hartmann di Jerman serta Werkspoor, Belanda. Lokomotif ini berbahan bakar kayu jati, berdaya 415 hp, massa 32 ton, dan sanggup melaju hingga 75 km/jam. Pengimporan dilakukan tahun 1900-1910. Lokomotif B 51 didinaskan untuk kereta lokal rute Tanah Abang-RangkasbitungMerak, rute KertosonoMadiunBlitar, dan rute Babat-Jombang.
    Lima unit lokomotif B 51 pernah dimutasi ke Sumatera Selatan untuk memenuhi kebutuhan angkutan penumpang di sana. Krisis ekonomi yang melanda tahun 1929–1934 mengakibatkan lokomotif Staatsspoorwegen terpaksa disimpan, namun selama disimpan, B 51 masih bertahan karena dirawat dengan baik. Satu unit B 51 lagi dimutasi dari Jawa ke Sumatera Barat untuk melayani rute Muaro-Pekanbaru untuk angkutan batu bara hingga ditutup September 1945.
    Saat ini tersisa B 51 12 yang beroperasi di Museum Kereta Api Ambarawa (buatan Hanomag). Sebelumnya, B51 12 adalah lokomotif langsiran Stasiun Bojonegoro.
 Indonesian State Railway B51 Steam Locomotive Running at AmbarawaB51
  • B52Naamloze Veenotschap Semarang-Cheribonsche Stoomtram Maatschappij (NV. SCSM) membuka trayek pertamanya Semarang-Kalibrodi pada 2 Mei 1897, setelah memperoleh konsesi untuk membangun jalur Semarang-Cheribon. Saat mengajukan konsesi, SCS sempat mengusulkan lebar sepur 914 mm. namun yang diijinkan tetap dengan lebar sepur 1067 mm dengan tipe rel R25. Perusahaan ini pernah mengimpor 27 unit lokomotif B 52 pada tahun 1908-1911 sebagai aramada pada lintas utama. B 52 adalah lokomotif uap dengan susunan gandar 0-4-0 buatan pabrik Hertmann di Chemnitz, Jerman. Lokomotif ini di lengkapi dengan tender. Uniknya tender yang berfungsi sebagai penampungan bahan bakar ini dibuatkan penutup yang menyerupai kabin masinis. Sehingga jika dilihat, lokomotif ini seolah memiliki dua kabin masinis, padahal sebenarnya hanya satu kabin.
    B 52 diklaim sebagai desain lokomotif termodern di jamannya. Sistem pembakarannya menggunakan tekhnologi superheated. Superheated adalah system pembakaran dengan mengalirkan uap bertekanan tinggi tidak dari piston pada umumnya, melainkan dari kubah yang mengalir ke semprong lalu ke silinder. Hasil dari pembakaran ini adalah uap kering, yang secara kinerja lebih efisien dibanding lainnya. Alokasi terbesar B 52 berada di Tegal. Sebagian besar lokomotif B 52 bertugas di Eksploitasi Tengah Pulau Jawa, yakni pada lintas Tegal-Prupuk-Purwokerto-Kudus.
    Lokomotif yang memiliki nomor seri asli SCS 112-27 ini bertugas menarik rangkaian kerta api penumpang. Beberapa diantaranya difungsikan untuk menarik kereta api barang, terutama di Kudus, Tegal dan Purwokerto. Berdasarkan PNKA, pada akhir tahun 1960 masih terdapat 27 unit lokomotif B 52, namun hingga akhir tahun 1970 hanya tersisa 15 unit. Namun kini, keberadaan lokomotif B 52 hanya tinggal dua saja. Lokomotif B 52 12 ada di Museum Transportasi TMII dan B 52 10 masih bisa dijumpai di Museum Kereta Api Ambarawa.
     Lokomotif B52
  • B53 tidak ada data
  • BB7 tidak ada data
  • BB8Lokomotif BB8 adalah salah satu lokomotif uap mallet pertama dan terakhir di Aceh yang diimpor oleh Djawatan Kereta Api selain lokomotif D52, E10, dan C7. Lokomotif BB8 dan C7 diproduksi oleh Nippon Sharyo pada tahun 1962 masing-masing sebanyak 4 unit dan 7 unit. Lokomotif tersebut digunakan untuk melayani Jalur kereta api Lintas Aceh.
    Dari 4 unit BB8, kini hanya tinggal satu unit yang tersisa, yakni Lokomotif BB84 yang dalam kondisi tidak lengkap, dipajang di sebelah Mall Barata, Banda Aceh. [1]
     Lokomotif BB8
     
  • BB10Lokomotif uap BB10 merupakan generasi pertama dari lokomotif tipe Mallet yang beroperasi di Indonesia. Lokomotif ini dibeli oleh perusahaan kereta api Staatsspoorwegen (SS) sebanyak 16 unit dari dua pabrik yang berbeda. 12 unit lokomotif BB 10 dibeli dari pabrik Hartmann (Jerman) dan 4 unit lokomotif BB 10 dibeli dari pabrik Schwartzkopff (Jerman). Lokomotif ini didatangkan pada tahun 1899 – 1908. Lokomotif ini menggunakan bahan bakar residu. Diawal kariernya, Lokomotif uap BB 10 digunakan untuk menarik rangkaian kereta api yang mengangkut HANS bumi, perkebunan dan penumpang yang ada pada rute BogorBandung. Jalur kereta api rute BogorBandung dibuka pada tahun 1884. Lokomotif ini memiliki tekanan gandar yang sesuai dan cukup kuat untuk mendaki dan menyusuri jalur kereta api yang melalui topografi pegunungan. Lokomotif BB 10 juga beroperasi di Rangkasbitung dan Banjar. Pada masa pendudukan jepang di Indonesia, lokomotif BB 10 juga beroperasi di rute Saketi – Bayah (80 km). Pemerintah Jepang membangun jalan rel rute Saketi – Bayah (80 km) pada tahun 1942-1945 untuk mengangkut batu bara dari tambang batu bara Cikotok (Banten).
    Lokomotif BB 10 memiliki silinder uap tekanan tinggi dan silinder uap tekanan rendah yang terpisah. Kedua silinder ini menyalurkan uap untuk menggerakan roda-roda penggerak. Posisi roda penggerak ini terpisah pada dua bagian yang berbeda. Bagian pertama (depan), roda penggerak yang berada pada bogie tersendiri yang dapat bergerak ke kanan/kiri mengikuti jalur rel sedangkan bagian kedua (belakang), roda-roda penggerak yang fix pada frame lokomotif. Lokomtif BB 10 memiliki susunan roda 0-4-4-2T. 0-4-4-2T artinya tidak memiliki roda idle di depan, 2 roda penggerak di depan, 2 roda penggerak di belakang dan 1 roda idle di belakang. Kode T berarti memiliki tangki. Lokomotif BB 10 memiliki panjang 10.560 mm, daya 465 hp (horse power) dan berat 44,1 ton. Lokomotif ini dapat melaju hingga kecepatan 50 km/jam.
    Dari 16 unit lokomotif BB 10, saat ini hanya tersisa 1 unit, yaitu BB 10 12. Lokomotif BB 10 12 dipajang di Museum Kereta Api Ambarawa (Jawa Tengah).
    Lokomotif BB10
  • C2 tidak ada data
  • C3 tidak ada data
  • C4 tidak ada data
  • C5 tidak ada data
  • C6 tidak ada data
  • C7 tidak ada data
  • C8 tidak ada data
  • C10 tidak ada data
  • C11 Pada tahun 1875 - 1891, pemerintah Hindia Belanda melalui perusahaan kereta api Staatsspoorwegen (SS) telah mampu membangun jalur kereta api di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jalur kereta api tersebut antara lain Surabaya - Malang - Kertosono - Madiun - Solo dan Yogyakarta - Maos - Cilacap. Dengan selesainya pembangunan kedua jalur tersebut maka kota Batavia (Jakarta) dan kota Surabaya telah terhubung dengan sarana transportasi kereta api. Untuk melayani kedua jalur tersebut, SS membeli 40 unit lokomotif uap C 11 dari pabrik Hartmann (Jerman). Lokomotif ini didatangkan secara bertahap pada tahun 1879 - 1891. Untuk memenuhi kebutuhan transportasi kereta api di Sumatera Selatan, maka 7 unit lokomotif C 11 milik SS dipindah dari Jawa ke Sumatera Selatan. Lokomotif C 11 ditugaskan sebagai lokomotif untuk dinas langsir atau lokomotif penarik kereta penumpang/barang pada rute jarak pendek dan datar.Walaupun lokomotif C 11 dan lokomotif C 12 memiliki bentuk dan susunan roda yang sama namun secara teknis ada sedikit perbedaan. Lokomotif uap C 11 memerlukan bahan bakar kayu jati untuk mendidihkan air dan menggerakkan menggerakkan injector pump. Tenaga uapnya digunakan untuk menggerakkan injector pump sehingga bisa memompa air dari tangki ke boiler. Di dalam boiler, hasil pembakaran bahan bakar digunakan untuk memanaskan air sehingga berubah menjadi uap dengan temperatur dan tekanan tinggi, untuk selanjutnya uap dengan temperatur dan tekanan tinggi tersebut dialirkan untuk menggerakkan roda. Lokomotif C 11 memiliki susunan roda 2-6-0 serta dapat melaju hingga kecepatan 50 km/jam dan memiliki daya 330 hp (Horse Power). Lokomotif ini memiliki berat 33,6 ton dan panjang 8.575 mm.Dari 40 unit lokomotif C 11, saat ini hanya tersisa 1 unit lokomotif C 11, yaitu C 11 40. C 11 40 (mulai operasional tahun 1891) dipajang di Museum KA Ambarawa (Jawa Tengah).



    Lokomotif C11
  •  
  • C12 Lokomotif C12 diimpor dari pabriknya, Hartmann, Jerman, pada tahun 1893-1902.
  •  Lokomotif ini berjumlah 43 unit, yang merupakan konversi penomoran dari lokomotif-lokomotif bernomor SS 175, SS 204, SS 206-210, SS 212, SS 220-237, SS 239, SS 260-267, dan SS 292-299.[1]
    Lokomotif ini memiliki tiga roda penggerak dengan dua silinder yang berbeda ukurannya, dan terletak terpisah, masing-masing terletak di bagian bawah sebelah kanan dan kiri dan kanan tangki air cadangan. Silinder yang kecil memproses uap tekanan tinggi, kemudian dialirkan ke silinder yang besar, lalu diproses menjadi uap tekanan rendah. Uap ini menjadi tenaga penggerak dan asapnya dibuang melalui cerobong. Lokomotif ini membutuhkan setidaknya bahan bakar 2 m³ kayu jati untuk merebus 3.500 liter air, guna merebus uap bertekanan 8,5 kg/cm².[2]
    Dari total 43 unit lokomotif C12, kini tersisa tiga unit yaitu, C1206, C1218, dan C1240. C1206 kini dipajang di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah, sedangkan C1240 dipajang di Museum Kereta Api Ambarawa. Sementara itu, C1218 (buatan 1896) dioperasikan sebagai lokomotif penarik kereta api uap Jaladara.[2]

    Tahun 2002, C12 18 dibawa dari Dipo Lokomotif Cepu ke Ambarawa, dalam keadaan rusak. Pada tahun 2006, lokomotif C1218 menjalani perbaikan besar di Dipo Lokomotif Ambarawa sampai berhasil dihidupkan kembali. Kemudian, pada tanggal 3 Juni 2006, C1218 mulai dioperasikan kembali. C1218 berhasil diujicobakan di lintas Ambarawa-Jambu sejauh 5 km.[2]
    Sebagai proyek kerja sama antara Pemerintah Kota Surakarta (Solo) dengan PT Kereta Api Indonesia, C1218 dipindah dari Ambarawa ke Solo, untuk menarik kereta api uap wisata yang diberi nama "Jaladara". Kereta api ini juga membawa kereta penumpang dengan nomor seri CR144 dan CR16[3] yang terbuat dari kayu, dan berhenti di objek-objek wisata di Kota Solo seperti kampung batik Laweyan, Loji Gandrung, Pasar Pon, Kraton, Gladak, kampung batik Kauman, dan lain-lain. Kereta ini berangkat dari Stasiun Purwosari hingga Stasiun Solo Kota (Sangkrah), pergi-pulang (pp).[4][5]

     C12 
     

Ini Caranya Memutar Lokomotif Uap Jaladara
  • C13  tidak  ada data
  • C14 Kegiatan tanam paksa yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Johanes van Den Bosch di Hindia Belanda pada tahun 1832 antara lain dilakukan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian selatan. Dari kegiatan itu, berbagai hasil bumi, seperti kopi, tembakau, teh dan lainnya, yang kemudian dikirim ke berbagai pasar di Eropa melalui Pelabuhan Cilacap. Berbagai hasil bumi itu dipasok dari daerah pedalaman yaitu Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan Wonosobo. Kegiatan ini terus berkembang hingga pengangkutan yang semula menggunakan gerobak sapi dan perahu sungai beralih dengan menggunakan kereta api.
    Usulan pembangunan jalan rel ini disampaikan oleh pabrik-pabrik gula yang ada di daerah Banyumas. Perusahaan kereta api swasta Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS) pertama kali membangun jalan rel yang menghubungkan Maos - Sampang - Patikraja - Purwokerto (29 km) dan diresmikan pada tahun 1896. Selanjutnya dibangun jalan rel yang menghubungkan Purwokerto – Wonosobo (92 km) dan selesai dibangun pada tahun 1917.
    Untuk melayani rute tersebut, SDS mendatangkan 14 unit lokomotif uap C 14 yang didatangkan secara bertahap pada tahun 1895 - 1910 dari pabrik Beyer Peacock (Inggris). Jalan rel milik SDS tersebut terhubung dengan jalan rel rute Yogyakarta – Maos – Cilacap (176 km, diresmikan pada tahun 1887) yang dibangun oleh perusahaan kereta api Staatsspoorwegen (SS). Dengan adanya kereta api sebagai alat pengiriman hasil bumi dan hasil pertanian menjadikan Pelabuhan Cilacap sebagai pelabuhan yang ramai di Jawa pada tahun 1909 - 1930.
    Lokomotif C 14 memiliki susunan roda 0-6-0 memiliki dua silinder berdimensi 280 mm x 406 mm dengan roda berdiameter 1.003 mm. Berat keseluruhan 20,8 ton. Lokomotif ini dapat melaju hingga kecepatan maksimum 20 km/jam. Lokomotif C 14 menggunakan bahan bakar kayu jati.
    Di akhir masa dinasnya pada tahun 1970, lokomotif C 14 berada di Purwokerto. Dari 14 lokomotif C 14, saat ini masih tersisa 3 lokomotif C 14, yaitu C 14 11, C 14 12 dan C 14 14. C 14 11 (mulai operasional tahun 1909) dipajang di depan kantor Daerah Operasional 5 Purwokerto. C 14 12 (mulai operasional tahun 1909) dipajang depan kantor Daerah Operasional 4 Semarang. C 14 14 (mulai operasional tahun 1910) dipajang di depan Balai Yasa Tegal.
     Lokomotif C14
  • C15Lokomotif C 15 adalah lokomotif uap buatan pabrik Hartmann, Jerman dan Werkspoor, Belanda. Lokomotif ini memiliki susunan gandar 0-6-0T dan berat 27,7 ton. Lokomotif ini dapat menggunakan dua bahan bakar: kayu jati dan batu bara. Lokomotif ini memiliki dua silinder compound. Teknologi tersebut lebih menghemat penggunaan bahan bakar dan air karena uap untuk menekan piston tidak langsung dibuang tetapi kembali ke silinder.

    Pada tahun 1875-1897, Staatsspoorwegen telah berhasil membuat jalur kereta api lintas Jawa Timur, mulai dari Surabaya Kota hingga Panarukan. Jalur lintas Surabaya Kota-Pasuruan merupakan proyek pertama perusahaan ini, kemudian diperpanjang hingga Panarukan. Rute ini menjadi sangat penting saat itu karena di daerah Umbulan terdapat sumber air yang sangat besar dan perkebunan tembakau. Agar dapat melayani jalur tersebut, SS kemudian mengimpor lokomotif C 15 dari dua pabrik yang berbeda: Hartmann (pada tahun 1897-1899 dan Werkspoor (pada tahun 1899-1900)), masing-masing sepuluh unit.
    Total 20 unit lokomotif itu dijalankan untuk lintas tersebut. Lokomotif ini adalah lokomotif pertama yang dibeli oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada pabrik Belanda. Sejak saat itu, KA menjadi moda transportasi yang amat penting. Angkutan tembakau banyak mempergunakan angkutan kereta api untuk diekspor.
    Saat ini hanya tersisa lokomotif C 15 07 di Museum Kereta Api Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
     Lokomotif C15
  • C16Untuk memperkuat kekuatan militer dan ekonomi, pemerintah Hindia Belanda menjadikan kota Magelang sebagai pusat kekuatan militer. Selain itu, kota ini juga dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Pemilihan kota Magelang karena letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah. Pemerintah Hindia Belanda terus melengkapi kota Magelang dengan berbagai sarana dan prasarana perkotaan seperti menara air, listrik, jalan arteri dan transportasi kereta api. Jalur kereta api yang menghubungkan kota Yogyakarta dengan kota Magelang dengan panjang 47 km, selesai dibangun pada tahun 1898. Jalur kereta api ini dibangun oleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg maatschappij (NIS).
    Pada tahun 1899 – 1908, NIS mendatangkan 7 lokomotif uap C16 dari pabrik Hartman (Jerman) untuk melayani rute tersebut. Pada tahun 1903 – 1907, pembangunan jalur kereta api dilanjutkan dari Magelang menuju ke Secang – Ambarawa dan Secang – Temanggung – Parakan. Jalur ini dianggap penting karena di Parakan dan Temanggung terdapat beberapa perkebunan tembakau.
    Masyarakat sangat terbantu dengan adanya sarana transportasi kereta api ini karena tarifnya yang murah, aman dan dapat menikmati pemandangan indah. Para penumpang terdiri dari berbagai macam profesi dan belum ada pembagian kelas kereta penumpang. 1 rangkaian kereta campuran terdiri dari kereta penumpang dan gerbong barang. Karena kereta harus berhenti di setiap stasiun maka waktu tempuh dari Magelang sampai Temanggung berkisar dua jam. Kereta harus berjalan sangat pelan dan kadang roda slip mulai dari Madureso sampai Banyurip karena jalan rel yang agak menanjak.
    Tangki lokomotif C16 berada di sisi roda dan memiliki kapasitas air sebanyak 3 m3. Lokomotif uap C16 memiliki susunan roda 0-6-0T. 0-6-0T berarti mempunyai 3 roda penggerak. Lokomotif C16 memiliki ciri khas yaitu menggunakan roda yang bersistem ’Golsdorf’. Dengan sistem ini, seluruh roda (roda pertama, roda kedua dan ketiga) hanya akan bergeser ke kiri/kanan mengikuti jalur rel. Roda dengan sistem ’Golsdoft’ cocok digunakan untuk jalan rel dengan radius tikungan yang besar. Sistem ’Golsdoft’ dikembangkan oleh insinyur dari Austria yaitu Karl Golsdoft. Pada tahun 1924 – 1931, semua lokomotif C16 dikonservasi dan dilengkapi dengan teknologi superheater.
    Lokomotif C16 memiliki panjang 7940 mm dan berat 25,5 ton. Lokomotif ini memiliki daya 250 HP (horse power) dan dapat melaju hingga kecepatan 55 km/jam. Lokomotif ini menggunakan bahan bakar batubara atau kayu jati.
    Dari 7 lokomotif C16, saat ini hanya tersisa 1 lokomotif C16, yaitu C16 03. C16 03 (mulai operasional tahun 1901) dipajang di museum Ambarawa (Jawa Tengah).
  • C17Lokomotif uap C17 didatangkan oleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg maatschappij (NIS) dari pabrik Hartmann (Jerman) pada tahun 1899 – 1902 sebanyak 5 lokomotif. Semula lokomotif ini dioperasionalkan pada rute Yogyakarta – Magelang – Secang (57 km). Pada tahun 1914, operasional lokomotif ini dipindah ke rute Solo – Boyolali (27 km) dan pada tahun 1923, lokomotif ini juga dioperasionalkan untuk rute Solo – Wonogiri – Baturetno (51 km). Jalur kereta api rute Solo – Boyolali selesai dibangun pada tahun 1908.
    Pembangunan jalur kereta api dari Solo ke Boyolali dianggap sangat penting karena di Boyolali terdapat sumber air yang sangat besar dan perkebunan tebu. Saat itu, sumber air ini belum digunakan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat, namun untuk memenuhi kebutuhan air untuk lokomotif uap. Operasional kereta api rute Solo – Boyolali dikelola oleh perusahaan kereta api swasta Solosche Tramweg Maatschappij (SoTM). SoTM mengoperasionalkan kereta penumpang yang ditarik oleh 4 ekor kuda. Peran kuda sebagai penarik rangkaian kereta diganti dengan lokomotif uap milik NIS. Saat itu kereta api menjadi alat transportasi perkotaan yang utama di kota Solo dan sekitarnya.
    Lokomotif C17 merupakan lokomotif yang menggunakan roda yang bersistem ’Golsdoft’. Sistem ’Golsdoft’ dikembangkan oleh insinyur dari Austria yaitu Karl Golsdoft. Sistem ’Golsdoft’ adalah suatu sistem yg digunakan untuk mengatur jalannya roda lokomotif dan berfungsi untuk membantu lokomotif agar mampu berbelok dengan mulus pada tikungan. Namun roda dengan sistem ’Golsdoft’ ini tidak dapat melalui jalan rel dengan radius tikungan kecil karena hanya mengutamakan pergeseran roda ke arah kiri/kanan ketika melewati tikungan. Lokomotif C17 memiliki susunan roda 0-6-0T.
    Lokomotif C17 mampu melaju hingga kecepatan maksimum 55 km/jam dan menggunakan bahan bakar kayu jati atau batubara. Lokomotif D17 memiliki berat 25,2 ton dan panjang 7850 mm. Walaupun lokomotif C16 dan lokomotif C17 memiliki bentuk dan susunan roda yang sama namun secara teknis ada sedikit perbedaan yaitu lokomotif C17 tidak menggunakan tekonologi superheater.
    Dari 5 lokomotif C17, saat ini hanya tersisa 1 lokomotif C17, yaitu C17 04. C17 04 (mulai operasional tahun 1902) dipajang di museum Ambarawa (Jawa Tengah).
     Lokomotif C17
  • C18Lokomotif C18 adalah salah satu jenis lokomotif uap yang pernah dioperasikan di Indonesia. Lokomotif ini dahulu dioperasikan oleh sebuah perusahaan kereta api Hindia Belanda bernama Solosche Tramweg Maatschappij (SoTM). Lokomotif yang dibuat oleh pabrik kereta api Jerman Hartmann ini mulai digunakan pada tanggal 1 Mei 1908. Hanya ada satu lokomotif jenis C18 yang pernah diproduksi. Karena SoTM bangkrut tidak lama setelah lokomotif ini dioperasikan, lokomotif ini pun diambil alih oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Selama masa beroperasinya, lokomotif ini kebanyakan beroperasi di Jalur kereta api Purwosari-Boyolali untuk mengangkut penumpang serta barang. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, pemerintah membentuk perusahaan kereta api bernama Djawatan Kereta Api (DKA). Mulai tahun 1950, DKA memesan lokomotif diesel baru yang lebih canggih untuk mengganti lokomotif uap yang sudah usur. Peran lokomotif C18 sebagai penarik kereta api di Jalur kereta api Purwosari-Boyolali mulai terganti oleh lokomotif diesel seperti D300 dan D301.
    Peran lokomotif C18 sebagai penarik kereta api di Jalur kereta api Nambo-Jabung (sekarang Jatimekar), Jalur kereta api Citayam-Nambo, Jalur kereta api Nambo-Jonggol, Jalur kereta api Jonggol-Cibarusah, Jalur kereta api Jonggol-Sukamakmur dan Jalur kereta api Jonggol-Cianjur mulai terganti oleh lokomotif diesel seperti D301, BB301, BB303, BB304, dan BB306.[butuh rujukan]
    Pada tahun 1969, lokomotif ini disimpan di dipo lokomotif Gundih. Pada tahun 1982, saat Depok setelah menjadi kota administratif, lokomotif ini disimpan di dipo lokomotif Depok dan hanya lokomotif C1803 yang disimpan di dipo lokomotif milik TTSM yang melayani rute Citayam-Cianjur di Stasiun Cileungsi, Bogor.
    Saat itu, daerah Cileungsi masih sedikit ramai karena ada kantor pos, kantor desa dan stasiun kereta api. Pada masa kerusuhan tahun 1998, dipo lokomotif di Stasiun Depok dan Stasiun Cileungsi ini ditutup.
    Kemungkinan pada saat itu lokomotif ini digunakan untuk menarik kereta api lokal Serpong-Jakarta, Surabaya-Lamongan, Bogor-Depok-Jakarta, Cirebon-Jatibarang, Jakarta-Bekasi-Cikampek, Semarang-Surakarta, Semarang-Surabaya dan Citayam-Nambo-Jabung.
    Pada tahun 1970-an, saat populasi lokomotif uap di Indonesia semakin menyusut, Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) memutuskan untuk mengkonservasi berberapa lokomotif uap supaya tidak semua lokomotif uap punah.
    Lokomotif C1801, lokomotif satu-satunya yang berjenis C18, dipindahkan ke Museum Kereta Api Ambarawa dan dijadikan sebagai pajangan statis. Sedangkan, Lokomotif C1802, C1803 dan C1805, salah satu lokomotif yang berdinas di lintas Citayam-Nambo-Jabung, telah dibawa ke Museum Transportasi TMII untuk dipajang pada tanggal 2 Januari 2000 setelah 9 bulan Depok berubah status menjadi kota. Hingga saat ini lokomotif ini masih berada disana.
    Lokomotif C18 memiliki panjang 7940 mm, berat 26,2 ton dan dapat melaju hingga kecepatan 55 km/jam. Lokomotif ini menggunakan bahan bakar batubara atau kayu jati. Lokomotif uap C18 memiliki susunan roda 0-6-0T. 0-6-0T berarti mempunyai 3 roda penggerak. Pada tahun 1915, lokomotif C18 dikonservasi dan dilengkapi dengan teknologi superheater dan silinder dengan katup piston.
     Lokomotif C18  

  • C19Lokomotif C19 adalah lokomotif uap buatan pabrik Hartmann, Jerman. Lokomotif ini memiliki susunan gandar 0-6-0T dan berat 19,5 ton. Lokomotif ini dapat menggunakan bahan bakar: kayu jati.

    Selain mengoperasikan tram untuk sarana transportasi di kota Semarang, perusahaan kereta api swasta Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) juga memperpanjang pembangunan jalan rel ke arah timur, yaitu Rembang, Blora dan akhirnya ke Cepu. Rute Semarang – Demak – Kudus – Rembang (197 km) dibangun pada tahun 1883 – 1900, sementara Rute Rembang – Blora – Cepu (70 km) selesai dibangun pada tahun 1902. Rute ini dianggap penting karena di daerah Rembang, Blora dan Cepu memiliki potensi hutan kayu jati yang besar dan sangat kaya akan kandungan minyak bumi. Kandungan minyak bumi di Cepu pertama kali ditemukan pada tahun 1914.
    Untuk melayani rute tersebut, SJS mendatangkan 12 lokomotif uap C19 dari pabrik Hartmann (Jerman) pada tahun 1898 – 1902. Setelah Perang Dunia II berakhir, 2 lokomotif C19 dipindah dari Jawa ke Sumatera Barat (ditempatkan di dipo Padang) untuk memenuhi kebutuhan transportasi kereta api di Sumatera Barat. Pada akhir masa dinasnya sekitar tahun 1973, lokomotif C19 digunakan untuk menarik gerbong ketel tetes tebu di sekitar Probolinggo – Pajarakan.
    Semula lokomotif C19 memiliki cerbong asap berbentuk corong namun kemudian digantikan oleh cerobong asap lurus. Lokomotif C19 memiliki susunan roda 0-6-0T. Lokomotif C19 juga dilengkapi dengan kotak pasir (sand box) dari bahan kuningan. Kotak pasir (Sand box) adalah kotak yang diisi dengan pasir yang digunakan untuk menyemprotkan pasir ke jalan rel agar permukaan jalan rel menjadi kering sehingga roda tidak slip. Biasanya roda akan slip jika lokomotif menarik rangkaian kereta dengan beban yang berat atau jalan rel yang menanjak. Berat keseluruhan 19,5 ton. Lokomotif ini dapat melaju hingga kecepatan maksimum 30 km/jam dan memiliki daya 255 HP (horse power). Lokomotif C19 menggunakan bahan bakar kayu jati atau batubara.
    Dari 12 lokomotif C19, saat ini masih tersisa 1 buah lokomotif C19, yaitu C19 12 (mulai operasional tahun 1902). C19 12 dipajang di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
     Lokomotif C19

  • C20
  • C21
  • C22
  • C23
  • C24
  • C25
  • C26
  • C27
  • C28
  • C29
  • C30
  • C31
  • C32
  • C33
  • C50
  • C51
  • C52
  • C53
  • C54
  • CC10
  • CC50
  • D1
  • D10
  • D11
  • D13
  •  
  • D14
 Akan Aktif Kembali ?? Pengiriman Lok Uap D1410

 MOMEN SUPER PANASS DI SIANG HARI..!!
 KLB Kirim Loko Uap D1410 Ke Stasiun Solo Balapan
(Steam Locomotive Activity) TM VI, The Biggest 
Locomotive of Narrow Gauge In Indonesia!

 Tasikmadu Sugar Mill, Central Java, Indonesia, Part 3
  •  JUNG
 PG Semboro 2017 part II

 PG Semboro Mallet

PG Semboro Tanggul Indonesien

 Indonesien PG Semboro Abendzug 11 08 10


BERTAHAN SAMPAI KAPAN? Langsiran Lori Tebu
 dengan Lokomotif Uap di Pabrik Gula Purwodadi, Magetan

 Lokomotif Bahagia, Cepu

 Lihat Kereta Tua Peninggalan Bung Karno Di Perhutani Cepu

 Java - Sragi & Pangka Mills, 2007 - Steam now History

Sragi Sugar Mill, Central Java, Indonesia - Double Headers

 Rejosari Sugar Mill, East Java, Indonesia, 16th August 1994

Steam of Jawa(Rejosari Suger Mill) Indonesia(Jul.2009) 1
 ジャワ(リジョサリ製糖工場)の蒸気機関車(2009年7月)1

 Rejosari Sugar Mill, East Java, Indonesia, Part 2

 Rejosari Sugar Mill, East Java, Indonesia, Part 3 - Double Header

 Java 2008 Part 4, Rejosari Sugar Mill, East Java, Indonesia

 Java 2008 Part 5, Sragi Sugar Mill, Central Java, Indonesia

 Java 2008 Part 6, Tasikmadu Sugar Mill, Central Java, Indonesia

 Java 2008 Part 7, Semboro Sugar Mill, East Java, Indonesia

 Trangkil Sugar Mill, Central Java, Indonesia, Part 1

 Trangkil Sugar Mill, Central Java, Indonesia, Part 2

 Trangkil Sugar Mill, Central Java, Indonesia, Part 3

Trangkil Sugar Mill, Central Java, Indonesia, Part 4

Pakis Baru Sugar Mill, Central Java, Indonesia, Part 1

 Pakis Baru Sugar Mill, Central Java, Indonesia, Part 2

 Pakis Baru Sugar Mill, Central Java, Indonesia, Part 3

 Kebonagung Sugar Mill, East Java, Indonesia, Part 1

 Kebonagung Sugar Mill, East Java, Indonesia, Part 2

 Kebonagung Sugar Mill, East Java, Indonesia, Part 3

 Kebonagung Sugar Mill, East Java, Indonesia, Part 4

 Kebonagung Sugar Mill, East Java, Indonesia, Part 5

 Kanigoro Sugar Mill, East Java, Indonesia

 Gempolkerep Sugar Mill, East Java, Indonesia, Part 1

 Gempolkerep Sugar Mill, East Java, Indonesia, Part 2

 Olean Sugar Mill, East Java, Indonesia

 Asembagus Sugar Mill, East Java, Indonesia

 Kedawung Sugar Mill Field Line Activity 2016 & 2017

PG Kedawung Pasuruan Indonesien

Java 2008 Part 3, Purwodadi Sugar Mill, East Java, Indonesia


Indonesien PG Asembagus -east java

Colomadu Sugar Mill, Central Java, Indonesia

 Tasikmadu Sugar Mill, Central Java, Indonesia, Part 1

Banjaratma Sugar Mill, Central Java, Indonesia

Ceper Baru Sugar Mill, Central Java, Indonesia

 Gondang Baru Sugar Mill, Central Java, Indonesia

 Jatibarang Sugar Mill, Central Java, Indonesia

 Cepiring Sugar Mill, Central Java, Indonesia - kendal

Sumberharjo Sugar Mill, Central Java, Indonesia

 Jatiwangi Sugar Mill, West Java, Indonesia

 Kadhipaten Sugar Mill, West Java, Indonesia

 Tersana Baru Sugar Mill, West Java, Indonesia

 Sindanglaut Sugar Mill, West Java, Indonesia


Dolok Ilir Palm Oil Mill, North Sumatra, Indonesia, Part 1

 Dolok Ilir Palm Oil Mill, North Sumatra, Indonesia, Part 2

 Dolok Sinumbah Palm Oil Mill, North Sumatra, Indonesia

Making Tracks: Sumatra Palm Plantation Steam Railway in 1994

 Mayang Palm Oil Mill, North Sumatra, Indonesia












Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOKOMOTIF DIESEL INDONESIA

LOGO PT KERETA API INDONESIA